Pagi itu, di awal bulan Juli, Malang sedang terik-teriknya. Jarum jam menunjukkan angka sembilan ketika
saya tiba di bangunan yang cukup megah, bercat warna biru muda. Disambut patung Joko Dolog dan
sebuah makara bermotif ikan dan gajah, saya melangkahkan kaki ke dalam bangunan. Namun, kesan
megah langsung berubah drastis. Sepi, bahkan terkesan sunyi.
Museum Mpu Purwa, demikian nama bangunan itu, berada di Perumahan Griyashanta, berselang cuma
450 meter atau tidak sampai sepuluh menit berjalan kaki dari Taman Krida Budaya Jawa Timur.
Setidaknya demikian menurut panduan Google Maps. Namun, jika area Taman Krida Budaya masih
cukup ramai, walau sekadar anak nongkrong dan orang berjualan, tidak demikian dengan Museum Mpu
Purwa. Padahal sekarang adalah musim liburan sekolah.
Sudah dirancang sejak dekade 1980-an, ketika Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Malang mengusahakan tempat untuk menampung benda peninggalan sejarah,
Museum Mpu Purwa baru resmi berdiri pada awal milenium ketiga. Memanfaatkan gedung bekas SDN
Mojolangu 2, awalnya bangunan ini bernama Gedung Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa.
Nama Mpu Purwa saat itu bukan tidak sengaja tercetus. Nama tersebut dicomot dari seorang pendeta
Buddha, tetapi ada juga yang menyebutnya Sthapaka, pendeta utama yang hidup sekitar abad XXI
Masehi. Nasihatnya dan tuahnya konon dinantikan semua orang, sedangkan kutukannya ditakuti semua
warga. Ia adalah cikal bakal raja-raja besar seperti Kertanegara di Singasari dan Hayam Wuruk di
Majapahit.
Setelah hanya sebagai balai penyelamatan, pada tahun 2018, gedung itu diresmikan menjadi museum.
Dengan luas lebih dari 1.000 meter persegi, Museum Mpu Purwa menampilkan puluhan artefak
berharga, sebagian besar berupa arca dan prasasti dari masa Mpu Sindok hingga era Majapahit. Banyak
yang mengklaim bahwa Museum Mpu Purwa adalah salah satu museum dengan koleksi terlengkap di
Malang.
Ditujukan sebagai media generasi muda, terutama anak sekolah, untuk mengenal dan belajar sejarah
dan budaya, sayangnya niat itu seperti jauh panggang dari api. Meleset. Jangankan ramai, dikunjungi
saja sudah puji syukur. Jumlah kunjungan rata-rata minimal 20 orang per hari. Memang, ada yang hingga
150 orang, tetapi itu tidak setiap hari. Malang yang konon punya reputasi baik dalam mengeksplorasi
seni dan budaya, langsung terpatahkan dengan realita ini.
Sebenarnya, kasus sepinya museum bukan cuma terjadi di Malang. Melansir Bisnis, pada tahun 2014
lalu, dari total 328 museum di seluruh Indonesia, hanya mampu menarik 10 juta pengunjung dalam
setahun. Sekarang, nasibnya pun masih belum berubah, tengok saja Museum Blambangan di
Banyuwangi dan Museum Daerah Tulungagung. Bahkan, pameran untuk memperingati Museum Daerah
ke-6 di Lumajang pada tahun 2021 lalu sepi peminat.
Apa yang Keliru?
Ada banyak faktor yang menyebabkan museum tidak diminati seperti halnya wahana hiburan, bioskop,
atau tempat kuliner. Khusus untuk kasus Museum Mpu Purwa, satu hal yang layak disorot adalah
kurangnya koleksi yang merepresentasikan nama museum itu sendiri. Mendengar nama Mpu Purwa,
tentu turis akan berharap bisa menemukan semacam storyline tentang tokoh tersebut. Kenyataannya,
walaupun koleksi dalam bentuk labeling cukup informatif, tetapi kurang menggambarkan siapa sosok Mpu Purwa dan apa saja nilai yang telah diwariskannya.
Kedua, menurut keterangan pihak museum, koleksi yang ada sebagian besar adalah asli. Dengan
pencahayaan yang cukup baik, ditambah highlight khusus untuk beberapa display, menunjukkan bahwa
setiap artefak itu penting dan perlu ditonjolkan. Sayangnya, penggunaan warna-warna cerah, termasuk
lampu ruangan, malah memberikan impresi ‘kurang asli’ alias replika. Kesan KW itu semakin kuat
lantaran banyak di antara koleksi tersebut yang tidak diberi labeling atau info penting.
Treatment pencahayaan terang mungkin sengaja dihadirkan untuk menghilangkan kesan seram. Namun,
ujung-ujungnya malah terlalu formal, kaku, seperti kanebo kering. Museum, sebagai salah satu bentuk
pameran, seharusnya punya interaksi yang dekat dengan pengunjung. Jadi, penting bagi museum untuk
memberikan stimulus kepada turis, bukan cuma indera penglihatan, tetapi juga pendengaran, peraba,
penciuman, bahkan perasa, agar mereka dapat menikmati suasana dan menyerap semua pesan yang
disampaikan. ¹
Ketiga, Museum Mpu Purwa boleh mencap sebagai museum kekinian, didukung teknologi digital,
termasuk scan QR code sehingga memudahkan pengunjung mengakses informasi soal koleksi yang
ditampilkan secara online. Kalau demikian, apa gunanya kurator atau guide museum? Bukannya tujuan
bertamu adalah menggali sebanyak-banyaknya info dari si empunya rumah. Kalau cuma disuruh
mengakses di internet, buat apa susah-susah datang?
Promosi Museum Mpu Purwa juga agaknya masih kurang. Perlu diketahui, bukan orang berjualan saja
yang perlu melakukan promosi, tetapi tempat edukasi seperti museum. Kalau perlu, museum punya tim
marketing khusus. Promosi punya tujuan mengubah sikap dan tingkah laku konsumen, yang sebelumnya
belum kenal menjadi mengenal dan akhirnya mengingat produk tersebut. ²
Sekarang, berapa banyak anak sekolah di Malang yang tahu lokasi Museum Mpu Purwa, kalau bukan karena ajakan gurunya? Terakhir, tiket masuk gratis. Mungkin terdengar aneh, tetapi sebaiknya museum juga menganut prinsip ‘ada harga, ada rupa’. Secara logika, orang akan berpikir, apa sih yang ditawarkan sesuatu yang gratis? Tentu saja kita tidak ingin museum seperti toko buku. Ramai hanya saat akan masuk tahun ajaran baru.
_________
1 Lorenc, Jan, Lee Skolnick, Craig Berger. 2007. What is Exhibition Design? Essential Design Handbook. Singapore: Page One Publishing, hlm. 13. 2 Saladin, Djaslim dan Yevis Marty Oesman. 2002. Intisari Pemasaran dan Unsur-Unsur Pemasaran. Bandung: Linda Karya, hlm. 123.