Kalau ditanya, apa destinasi yang akan Anda pilih saat sedang pelesir di Malang? Mungkin 7 dari 10 orang akan menjawab tempat wisata seperti ke pantai, tempat kuliner, amusement park, atau malah mall untuk memuaskan hasrat ‘shopping’ dan berburu diskon. Hanya 3 dari 10 orang yang akan menjawab tempat lain, seperti candi dan museum. Saya sendiri adalah sedikit dari orang yang termasuk dalam angka minoritas tersebut.
Entah kenapa, setiap datang ke museum, selalu ada debaran lain yang saya rasakan, semacam perasaan kerinduan. Ini juga terjadi saat saya berkunjung ke Museum Panji, tepat ketika ada pertunjukan dari suatu kelompok teater beberapa waktu yang lalu. Lokasinya dari pusat Kota Malang memang lumayan jauh, sekitar 30 menit berkendara menuju arah timur, tepatnya di Jalan Raya Bangilan, Tumpang, Kabupaten Malang.
Dibangun sejak 2014, Museum Panji, seperti namanya, memang bertujuan untuk memperkenalkan cerita-cerita panji, terutama kepada anak muda yang sekarang diteror budaya negeri orang. Kalau belum tahu, Cerita Panji adalah cerita asli Indonesia yang ternyata telah diakui sebagai Memory of the World United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization alias UNESCO dan sudah kondang di banyak negara, terutama kawasan Asia.
Tema besar Cerita Panji adalah kisah tentang percintaan dua insan yang bertemu, berpisah, lalu bertemu lagi, mirip kisah yang sering ada di FTV. Ia menceritakan perjalanan cinta Panji Asmarabangun, putra mahkota Kerajaan Janggala, dengan Dewi Sekartaji alias Galuh Candrakirana, putri mahkota Kerajaan Kediri. Cerita Panji lantas berkembang menjadi banyak versi, termasuk Timun Mas dan Ande-Ande Lumut, dua dongeng yang akrab di telinga semenjak kecil.
Sebenarnya, cerita-cerita tentang Panji ini sudah banyak yang dibukukan, bahkan dapat kita peroleh secara gratis lewat media internet. Namun, ada pengalaman tersendiri saat belajar Cerita Panji dengan datang langsung ke museumnya. Tak aneh rasanya jika penggagas museum ini, bapak M. Dwi Cahyono, memajang kalimat Museum Panji History Alive Today di pintu masuk museum.
Di museum tersebut, kita akan tahu bahwa Cerita Panji mungkin bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Memang, ada dua versi tentang cerita tersebut, satunya mengatakan hanya fiktif atau legenda, sedangkan yang lain percaya bahwa itu benar-benar terjadi alias fakta. Nah, di museum ini, kita dapat menilai sendiri apakah cerita itu sebenarnya hanya dongeng atau nyata lewat koleksi naskah kuno, motif batik, dan relief candi yang dipamerkan.
Tidak hanya memajang tentang Cerita Panji, museum ini juga memamerkan beragam koleksi wayang (mulai wayang kulit hingga wayang golek) serta Topeng Malangan. Sementara itu, ruang khusus yang menampilkan benda-benda antik berkaitan dengan sastra Jawa, semacam replica batu prasasti pipih, serta kitab-kitab kuno dengan tulisan Arab dan Palawa akan menjadi magnet bagi para pencinta karya sastra, terutama sastra klasik.
Tidak cukup di situ, berbagai peninggalan zaman prasejarah serta zaman kerajaan pun turut mewarnai koleksi Museum Panji. Hal tersebut berupa fosil hewan, fosil tumbuhan, arca, keramik, gerabah peninggalan Majapahit, hingga gambaran dapur rakyat Jawa zaman ‘baheula’. Bahkan, di bagian lantai bawah tanah terdapat potret Perang Genter -yakni perang antara Kerajaan Tumapel dan Kerajaan Kediri- yang digambarkan secara apik lewat sebuah diorama khusus.
Agar tidak meninggalkan kesan museum yang kaku dan kuno, Museum Panji pun lebih luwes dan agaknya juga lebih peduli dengan tujuan pelancong. Tidak semua wisatawan berkunjung dengan alas an suka pada benda-benda lawas, mereka mungkin datang hanya untuk menemani pacar, atau menikmati suasana lain sebagai agenda makan bersama keluarga. Tampaknya untuk itulah, di area yang sama juga dibangun kafe dan restoran, serta toko souvenir. Uniknya lagi, di tengah areal kompleks museum tersebut juga terdapat kolam renang yang estetik. Yah, bagi pengunjung yang belum paham nilai barang peninggalan leluhur, hal ini cukup menghibur – minimal mereka bisa foto-foto cantik di areal museum ini.
Namun, seperti yang sering dibicarakan banyak orang bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna, begitu juga yang terdapat di Museum Panji. Yang paling tampak adalah tata letak koleksi yang kurang runtut dan runut. Koleksi zaman prasejarah misalnya, ada di sebelah artefak peninggalan Singhasari, yang lantas disambung koleksi topeng Malang dan wayang. Sebuah alur yang kurang greget, batin saya. Mengurangi kenikmatan dan kepaduan dalam menelusuri jejak peninggalan nenek moyang.
Seperti diketahui, sebuah bentuk pameran -dalam hal ini adalah museum- mirip media komunikasi lainnya, dalam artian perlu dibangun dari sejumlah unsur. Media komunikasi harus memiliki konsep penataan seperti: storyline, path atau jalur pengunjung, media pamer, grafis, ruang bangunan, serta lighting alias pencahayaan. Storyline menjadi unsur paling penting, karena merupakan garis besar cerita tentang pameran, seperti apa pameran tersebut dan bagaimana cara berceritanya. Dengan storyline yang tepat, traveler tidak hanya melihat tetapi juga dapat menangkap makna pada objek yang mereka saksikan, sehingga diharapkan ada interaksi dua arah.
Dari storyline ini juga, dapat diatur unsur berikutnya, seperti jalur atau sirkulasi pengunjung misalnya. Jalur turis dalam sebuah pameran sangat tergantung pada klasifikasi penataan pameran itu sendiri, apakah tematik, kronologis, atau lainnya. Kalau dilihat-lihat, Museum Panji ini lebih cenderung pada penataan tematik, khas kebanyakan museum di Indonesia yaitu menata materi pameran dengan tema dan subtema. Jadi, untuk pengunjung seperti saya yang ingin melihat koleksi secara berkesinambungan, baik dari segi penyampaian ide maupun pesan, tampaknya hal tersebut masih belum terasa efektif.
Terlepas dari ketidaksempurnaannya, harus diakui bahwa Museum Panji merupakan sebuah tempat yang sangat layak didatangi. Kalaupun Anda belum kenal cerita klasik Jawa semacam Panji, museum ini akan memikat Anda untuk penasaran dan ingin mengetahuinya lebih lanjut. Tidak ada ruginya menilik cerita-cerita lawas, entah itu hanya legenda atau memang benar-benar kisah nyata. Hal tersebut dapat memperkaya khasanah pengetahuan kita mengenai keraifan lokal yang dimiliki leluhur sejak dahulu kala. Minimal, kisah Panji yang berusaha disajikan dalam museum ini dapat Anda jadikan referensi ketika buah hati Anda minta didongengkan sebelum terlelap.